KH Ahmad Dahlan, Kyai Pejuang dan Pendidik

ahma-dahlan11

Memperjuangkan martabat bangsa, tidak hanya dengan mengangkat senjata. Sang Kyai memberi contoh, betapa perjuangannya begitu multi aspek, mulai dari syiar agama, bidang pendidikan hingga kesehatan masyarakat.

“Adakah kamu tidak malu kalau auratmu sampai dilihat laki-laki?” tanya Ahmad Dahlan kepada murid-murid perempuannya. Tak menunggu lama, yang ditanya pun menjawab, “Wah, malu sekali Kyai.”. Ahmad Dahlan menjawab, “Kalau begitu, mengapa kebanyakan dari kamu kalau sakit malah pergi kepada dokter laki-laki, apalagi ketika melahirkan? Kalau benar-benar malu, teruskanlah belajar. Jadikanlah dirimu seorang dokter, sehingga kita mempunyai dokter perempuan untuk kaum perempuan pula.”

Continue reading →

Politik Hukum Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019

Mengawali tahun 2017, Catatan Kamisan kali ini saya dedikasikan untuk membaca politik hukum di tanah air, utamanya menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kedua perhelatan politik itu saya anggap penting dan akan terus menjadi faktor penentu dinamika dan arah perjalanan bangsa ini ke depan.

Continue reading →

Menjawab Tantangan 2017

Tahun 2016 yang dinamis telah kita tinggalkan. Kini kita memasuki tahun 2017 yang tak akan bebas dari tantangan. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang pandai memetik pelajaran dari masa lalunya dan kemudian melangkah ke depan untuk berbuat yang lebih baik lagi.

Potret besar kita pada 2016 sebenarnya tak buruk meskipun masih banyak masalah yang belum kita selesaikan. Misalnya, yang positif, kecuali terjadi gejolak sosial-politik di pengujung tahun, situasi nasional kita terjaga dengan baik.

Sementara yang belum kita atasi sepenuhnya adalah upaya memulihkan ekonomi nasional kita, yang tiga tahun terakhir ini mengalami tekanan yang cukup berat.

Continue reading →

Sekolah “Indonesia Mini” di Kota Batu

1251345julianto-eka-putra780x390

“Saat lahir, kita tidak pernah bisa memilih untuk menjadi China, Jawa, Muslim, Nasrani, Hindu, Buddha, atau lainnya. Kita hanya bisa menjalaninya hingga ujung usia. Yang membedakan manusia adalah tindakannya. Biar langit yang akan mencatat, apakah kita nanti bertemu di surga atau di neraka.”

Demikian ucapan Julianto Eka Putra (44), pendiri sekolah gratis SMA Selamat Pagi Indonesia di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pertengahan Desember 2016. Ucapan itu merujuk pada kerisauan Julianto atas apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Sentimen agama, suku, perbedaan fisik dan pandangan seakan mengotak-ngotakkan masyarakat dan mengancam keutuhan bangsa ini. Kerisauan seperti itu pernah dirasakan Julianto belasan tahun lalu. Ia ingat, Reformasi 1998 dibayar mahal dengan tragedi kemanusiaan berlatar belakang suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).

Continue reading →