03 – Sejarah Korupsi, Zaman Kerajaan hingga Orde Lama

Seperti yang sudah dipaparkan pada artikel sebelumnya mengenai bentuk-bentuk korupsi, bahwa tindakan korupsi terbagi atas beberapa bentuk sehingga memudahkan kita untuk menentukan sikap jika suatu saat nanti menghadapi kondisi yang sama. Perlu diketahui bahwa korupsi sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik melakukan penelitian dan kajian tentang korupsi pada tataran aspek ekonomi, padahal dampak yang ditimbulkan cukup signifikan bahkan mampu mengubah peta perpolitikan di Indonesia.[1]

Korupsi pada dasarnya sudah ada sejak manusia mengenal kehidupan bermasyarakat. Tindakan korupsi yang pada awalnya dilakukan dengan sederhana, namun sejalan dengan perkembangan zaman, maka tindakan korupsi pun ikut berkembang hingga menjadi masalah yang sulit ditangani.[2] Korupsi yang sudah terjadi sekian lama membuatnya menjadi salah satu budaya buruk yang sulit untuk dihilangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Termasuk pada bangsa Indonesia.

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh segala bentuk tindakan korupsi yang tak pernah berhenti. Korupsi ini terjadi oleh berbagai motif, seperti kekuasaan, kekayaan, bahkan wanita. Perebutan kekuasaan pada Kerajaan Singasari dimana terjadi peristiwa saling balas dendam antar keturunan untuk memperebutkan kekuasaan, kemudian terjadinya banyak pemberontakan (Nambi, Kuti, dan Suro) di Kerajaan Majapahit, bahkan terjadi pemberontakan dari seorang anak terhadap ayahnya sendiri pada Kerajaan Banten (Sultan Haji terhadap Sultan Ageng Tirtayasa) atas hasutan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Bahkan hingga pada masa kolonial Belanda pun, bangsa ini dapat dengan mudah dipecah belah oleh politik “Devide et Impera” dengan memanfaatkan keserakahan dan ketamakan bangsa ini. [3]

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris yang bertugas di Pulau Jawa pada tahun 1811-1826, memaparkan beberapa aspek penilaian terhadap Pulau Jawa, khususnya seputar karakter penduduk Jawa. Dalam buku tersebut, digambarkan bahwa penduduk Jawa adalah orang yang selalu pasrah terhadap keadaan, namun memiliki keinginan untuk diakui oleh orang lain.[4] Hal buruk lainnya adalah banyaknya bangsawan kerajaan yang senang mengumpulkan harta, tidak menerima kritikan, dan “gila hormat”. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Budaya inilah yang kemudian turut andil dalam menyuburkan budaya korupsi di Indonesia.

Pada masa tanam paksa (Cultuur Stelsel) juga terjadi praktik korupsi massal yang sangat merugikan. Disebutkan, saat itu petani hanya mendapat 20% dari total hasil panen dan diduga sebesar 20% hasil panen lainnya dibawa ke Kerajaan Belanda. Selebihnya yaitu 60% hasil panen tersebut menjadi upeti dan diambil (digelapkan) oleh pejabat lokal, dari tingkat desa hingga kabupaten.[5]

Budaya korupsi ini rupanya menjadi “penyakit” yang suatu saat akan kambuh. Terbukti, pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, korupsi menjadi berkali-kali lipat dengan bermacam-macam bentuk. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi karena tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas korupsi sehingga dirasa perlu untuk membuat dan mengesahkan suatu aturan kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.[6] Dan mulai pada 9 April 1957 telah berlaku Peraturan Pemberantasan Korupsi No. Prt/PM-06/1957 yang dikeluarkan oleh Jenderal A. H. Nasution, Penguasa Militer Seluruh Indonesia saat itu,[7] dengan dibantu oleh 2 (dua) orang anggota yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani.[8]

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendukung usaha pemberantasan korupsi, berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya, maka dibentuklah PARAN, Panitia Retooling Aparatur Negara. Saat itu, tugas PARAN adalah memastikan seluruh pejabat pemerintah mengisi berkas yang telah disediakan, yang berisi tentang daftar kekayaan pejabat negara.[9] Namun pada perjalanannya, PARAN banyak ditentang oleh pejabat negara yang berlindung di balik kekuasaan Presiden sehingga usaha PARAN dalam memberantas korupsi mengalami stagnansi.

Setelah tugas PARAN diserahkan kembali kepada pemerintah, pemerintah melancarkan “Operasi Budhi”, dimana operasi ini bertujuan untuk meneruskan kasus-kasus tindak pidana korupsi dan penyelewengan ke pengadilan. Sasaran dari operasi ini adalah badan-badan usaha milik negara dan lembaga negara yang diindikasi terdapat praktik tindak pidana korupsi. Namun, pada kenyataannya, “Operasi Budhi” ini pun mengalami hambatan-hambatan dari pihak terduga korupsi yang mangkir dari pemanggilan atau menghindari pemeriksaan petugas yang berwenang.

Dalam rentang waktu 3 (tiga) bulan setelah “Operasi Budhi” dilancarkan, pemerintah dapat menyelamatkan uang negara sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, dimana jumlah tersebut merupakan jumlah yang cukup besar pada masa itu. Kemudian pada 27 April 1964, Presiden membentuk KOTRAR, Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi, yang menjadi badan pengendalian (pengganti “Operasi Budhi” dan PARAN) dan bertugas untuk memupuk, memelihara, dan mengusahakan agar alat-alat revolusi memiliki hasil yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia.[10]

Pada akhirnya, badan dan lembaga pemberantasan korupsi yang telah dibentuk oleh pemerintah di era Orde Lama mengalami stagnansi dan tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal karena kurangnya dukungan yang didapat dalam menjalankan tugas tersebut.[11]


[1] Diambil dari tulisan Amin Rahayu, SS (Analis Informasi Ilmiah Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI) dengan judul “Sejarah Korupsi di Indonesia”.
[2] Diambil dari e-Journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya oleh Hikmatus Syuraida ”Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama Hingga Orde Reformasi” Tahun 2015.
[3] Diambil dari tulisan Amin Rahayu, SS (Analis Informasi Ilmiah Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI) dengan judul “Sejarah Korupsi di Indonesia”.
[4] Diambil dari “Buku Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi”, diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 2011.
[5] Diambil dari “Korupsi, dari Kerajaan Nusantara hingga Reformasi”, diakses melalui http://nasional.kompas.com/read/2015/01/28/14000051/Korupsi.dari.Kerajaan.Nusantara.hingga.Reformasi pada tanggal 26 Desember 2016 pukul 11.45 WIB.
[6] Diambil dari Bintang Timur, 10 April 1957. Kolom 3-5. Hlm. 1  dalam e-Journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya oleh Hikmatus Syuraida ”Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama Hingga Orde Reformasi” Tahun 2015.
[7] Diambil dari e-Journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya oleh Hikmatus Syuraida ”Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama Hingga Orde Reformasi” Tahun 2015.
[8] Diambil dari tulisan Amin Rahayu, SS (Analis Informasi Ilmiah Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI) dengan judul “Sejarah Korupsi di Indonesia”.
[9] Ibid
[10] Diambil dari e-Journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya oleh Hikmatus Syuraida ”Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama Hingga Orde Reformasi” Tahun 2015.
[11] Ibid

One Comment

Leave a comment